Oleh: Muspani, SH., MH
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 adalah penanda penting dalam dinamika hukum dan politik elektoral di Indonesia.
Mahkamah menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu tidak harus selalu dalam format “serentak lima kotak” sebagaimana selama ini dipraktikkan.
Dalam tafsirnya, MK menyatakan bahwa konstitusi memberi ruang untuk membedakan antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
Dengan kata lain, pemilihan Presiden, DPR, dan DPD akan tetap dilakukan pada tahun 2029, namun pemilihan kepala daerah dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota akan digeser ke tahun 2031.
Putusan ini bukan semata perubahan teknis tahapan, tapi pergeseran besar dalam struktur tata kelola demokrasi.
Implikasinya langsung terasa: kepala daerah hasil Pilkada 2024 yang idealnya menjabat hingga 2029, kemungkinan besar akan diperpanjang hingga 2031.
Begitu juga anggota DPRD hasil Pemilu 2024, yang seharusnya mengakhiri masa jabatan lima tahunnya pada 2029, akan tetap menjabat dua tahun lebih lama untuk menyesuaikan jadwal pemilu baru.
Permasalahan utamanya terletak pada kekosongan norma. Tidak satu pun pasal dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada saat ini yang secara eksplisit memberikan dasar hukum untuk perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan DPRD karena alasan penyesuaian jadwal.
Putusan MK memang bersifat final dan mengikat, namun ia bukan legislasi. Maka, perlu ada langkah cepat dari pembentuk undang-undang, baik dalam bentuk revisi terbatas terhadap dua undang-undang tersebut atau penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) jika kondisi dianggap mendesak.
Tanpa langkah hukum yang eksplisit, maka masa transisi ini bisa memunculkan pertanyaan serius tentang legitimasi kekuasaan pejabat publik yang diperpanjang secara de facto, tetapi tanpa landasan de jure yang tegas.
Dalam perspektif hukum tata negara, ini dapat menciptakan ruang konflik, baik politik maupun yudisial, jika sampai ada pihak yang mengajukan gugatan terhadap keabsahan keputusan yang diambil oleh pejabat dalam masa jabatan transisi tersebut.
Di sisi lain, jeda waktu antara pemilu nasional 2029 dan pemilukada 2031 sebenarnya membuka peluang emas untuk memperkuat sistem kepartaian.
Partai politik diberi waktu yang lebih lapang untuk melakukan rekrutmen kader, pendidikan politik, dan konsolidasi struktur internal di tingkat daerah.
Ini adalah waktu ideal bagi parpol untuk menanam, merawat, dan memanen kader-kader berkualitas yang akan tampil di pemilukada 2031.
Namun, peluang ini hanya akan menjadi slogan jika tidak disertai dengan program terstruktur dan dukungan kebijakan afirmatif dari negara.
Pemerintah daerah juga harus segera melakukan penyesuaian perencanaan pembangunan, termasuk dokumen RPJMD dan Renstra Perangkat Daerah, agar tidak terjadi kekosongan arah pembangunan pasca-2029.
Begitu pula dengan DPRD yang memasuki masa jabatan “tambahan”, perlu ada etika transisional yang menjaga kredibilitas, akuntabilitas, dan semangat reformasi dari lembaga legislatif lokal.
Singkatnya, Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 telah memberi arah baru bagi demokrasi lokal kita. Tapi arah baru ini tidak akan bermakna tanpa kesiapan infrastruktur hukum dan institusional yang solid.
Kita tidak bisa membiarkan proses politik berjalan di atas ruang abu-abu konstitusi. Sebab demokrasi yang sehat bukan hanya soal suara, tapi juga soal kepastian hukum.