,

LEGAL OPINION : Analisis Teoretik dan Yuridis terhadap Kasus Dugaan Korupsi oleh Mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah Berdasarkan Konsep Relasi Kekuasaan dalam Hukum Pidana Modern

oleh -61 Dilihat
Muspani, SH,MH

PENULIS :

MUSPANI, SH., MH.

  1. PENDAHULUAN

Tulisan ini merupakan pendapat hukum (legal opinion) yang disusun sebagai kontribusi terhadap diskursus intelektual di kalangan praktisi hukum, khususnya di Bengkulu, mengenai pentingnya pendekatan teoritik dan struktural dalam memahami tindak pidana korupsi. Analisis ini berfokus pada dakwaan terhadap mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, yang didakwa berdasarkan Pasal  12  huruf  e  dan  Pasal  12B  UU  No. 31  Tahun  1999  jo.  UU  No. 20  Tahun  2001  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tulisan ini akan mengkaji posisi hukum terdakwa dalam bingkai lima konsep hukum pidana modern: (1) relasi hierarkis dan tekanan sistemik, (2) constructive coercion, (3) influence peddling, (4) abuse of influence, dan (5) circumstantial evidence.

  1. B. KERANGKA DAKWAAN DAN ARGUMENTASI KUASA HUKUM

Terdakwa didakwa melakukan: 1. Pemerasan jabatan (Pasal 12 huruf e): dengan dugaan memaksa ASN dan pengusaha memberi uang demi pemenangan Pilkada. 2. Penerimaan gratifikasi (Pasal 12B): menerima uang dari bawahan dan pihak swasta karena jabatan.

Sementara itu, argumen utama kuasa hukum terdakwa adalah bahwa: – Para saksi menyatakan tidak merasa dipaksa; – Tidak ada perintah eksplisit dari terdakwa untuk memberikan uang; – Pemberian dilakukan karena loyalitas dan ketakutan terhadap jabatan, bukan karena pemerasan.

  1. ANALISIS BERBASIS LIMA KONSEP KUNCI
  2. 1. Relasi Hierarkis dan Tekanan Sistemik

Dalam struktur birokrasi pemerintahan, hubungan antara atasan dan bawahan tidak dapat dianggap  setara.  Pengakuan  ASN  bahwa  mereka  memberi  “secara  sukarela”  karena “loyalitas   jabatan”   tidak   menghilangkan   fakta   bahwa   mereka   berada   dalam   posisi subordinat. Dalam konteks ini, “keikhlasan” bukan ukuran objektif bebas dari tekanan. Tekanan   dapat   bersifat   struktural,   tidak   kasat   mata,   namun   tetap   menimbulkan keterpaksaan. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1655 K/Pid.Sus/2016 mengakui validitas tekanan struktural sebagai bentuk pemaksaan.

Dalam Putusan MA tersebut Hakim mengakui tekanan struktural saat pejabat menggunakan kedudukannya untuk memaksa bawahan menyumbang, meski nada permintaan tampak “ikhlas” pada permukaan. Tekanan itu tetap dianggap pemaksaan berdasar hierarki jabatan (doktrin pemaksaan tidak eksplisit).

Dalam sistem birokrasi negara, relasi antara atasan dan bawahan tidak netral. Teori Max Weber tentang “otoritas legal-rasional” menyatakan bahwa struktur hierarkis menciptakan kepatuhan fungsional yang tidak selalu sukarela, melainkan dibangun oleh kewajiban struktural.

  1. 2. Constructive Coercion

Pemaksaan dalam hukum pidana tidak harus selalu berbentuk verbal atau fisik. “Constructive coercion” adalah bentuk pemaksaan yang muncul dari struktur kekuasaan dan ancaman implisit, seperti ketakutan akan pencopotan jabatan.

Dalam kesaksian di persidangan, beberapa ASN menyatakan bahwa mereka memberikan uang karena takut akan dicopot dari jabatannya jika tidak patuh. Ini merupakan bentuk pemaksaan konstruktif yang cukup untuk memenuhi unsur “memaksa seseorang memberikan sesuatu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e.

Putusan  MA  1655/2016:  Mengakui  coercion  konstruktif  dari  atmosfer  kekuasaan,  yang cukup  memenuhi  pasal  pemerasan  (Pasal  12e).  Teori  Packer  &  teori  fungsional  hukum pidana: tekanan struktural ini dapat memenuhi unsur “memaksa” dalam delik korupsi.

Dalam  teori  hukum  pidana  progresif    (lihat  Herbert  L.  Packer,  Limits  of  the  Criminal Sanction), coercion tidak harus berupa paksaan fisik atau verbal langsung. Ada bentuk paksaan  konstruktif  (constructive  coercion)  yang  timbul  dari:  (a)  relasi  jabatan  yang asimetris; (b) ketergantungan struktural (bawahan terhadap penilaian atasan), dan (c) ketakutan terhadap sanksi tidak formal (didesak, dimutasi, tidak dipromosikan).

  1. 3. Influence Peddling

Dugaan bahwa terdakwa menggunakan kekuasaan jabatan (meski dalam posisi non-aktif) untuk menggalang dana dari ASN atau pihak swasta untuk tujuan politik merupakan bentuk klasik  dari  influence  peddling.  Perbuatan  tersebut  bukan  hanya  pelanggaran etik,  tetapi merupakan  wujud  penyalahgunaan  pengaruh  jabatan  yang  secara  yuridis  dapat  dikenai sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam UNCAC (Pasal 18) dan diakomodasi dalam Pasal 12B UU Tipikor.

UNCAC  Pasal 18  menguatkan  bahwa  memanfaatkan  posisi/jabatan  untuk  mendapatkan manfaat (meski tanpa perintah administrasi) dianggap tindak korupsi. MA konsisten mengadopsi teori ini, menganggap pengaruh jabatan sebagai nilai korupsi, bahkan tanpa kerugian negara.

Menurut UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) Pasal 18, “trading in influence” adalah kejahatan korupsi yang terjadi ketika seseorang: “menyalahgunakan pengaruh aktual atau yang dipersepsikan atas pengambil keputusan publik untuk mendapatkan manfaat tidak sah bagi diri sendiri atau orang lain.”

  1. 4. Abuse of Influence

Ketika seorang pejabat negara menggunakan pengaruh jabatan secara tidak langsung untuk memperoleh keuntungan pribadi—sekalipun tidak memberikan perintah eksplisit—maka itu merupakan penyalahgunaan pengaruh (abuse of influence). Dalam perkara ini, terdakwa diduga menggunakan kedudukannya untuk menciptakan kultur “wajib menyumbang”, yang pada dasarnya merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip netralitas ASN dan integritas jabatan.

MA mengakui hierarki struktur bisa digunakan pejabat untuk mempengaruhi bawahan tanpa instruksi   formal,   memicu   sumbangan/pemberian   uang.   Dalam   kasus   Edy   Subagyo (805 K/Pid.Sus/2011),   majelis   menjatuhkan   hukuman   karena   penyalahgunaan   jabatan menyebabkan kerugian (menunjukkan tekanan struktural).

Perbedaan  dengan  Influence  Peddling:  –  Influence  peddling  =  memanfaatkan  kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. – Abuse of influence = menggunakan pengaruh jabatan secara menyimpang, bahkan jika tidak ada pertukaran konkret. Teori ini diangkat oleh jurist seperti Jeremy Horder (UK) dan Lucinda A. Low (World Bank), yang menyatakan bahwa pengaruh jabatan yang digunakan untuk memaksa loyalitas (misalnya, meminta ASN menyumbang untuk kampanye) merupakan bentuk abuse yang melanggar prinsip public trust.

  1. 5. Circumstantial Evidence

Bukti dalam tindak pidana korupsi tidak selalu berbentuk langsung (surat, rekaman, perintah tertulis). Bukti tidak langsung, seperti kesaksian konsisten dari banyak ASN, pola pemberian uang,  dan  kesamaan  alasan  pemberian  (loyalitas/jabatan),  dapat  membentuk  rangkaian fakta   logis   yang   cukup   meyakinkan.   Mahkamah   Agung   dalam   Putusan   No. 2237

K/Pid.Sus/2014 menerima alat bukti tidak langsung sebagai dasar pembuktian sepanjang koheren dan mendukung keyakinan hakim.

Studi Unud (Alvin & Dewi, 2024) menegaskan bahwa meski belum diatur secara eksplisit, alat bukti tidak langsung sangat diakui dalam yurisprudensi korupsi—namun hanya sebagai penguat bukti lain, bukan tunggal .

Berbeda dengan direct evidence (misalnya rekaman suara, surat perintah), circumstantial evidence adalah fakta yang tidak membuktikan langsung peristiwa utama, tetapi membentuk rangkaian   logis   yang   menunjuk   pada   kesimpulan   hukum.   Dalam   hukum   pidana, circumstantial evidence dapat menjadi dasar keyakinan hakim, sepanjang: (a) relevan, (b) terpaut secara logis, dan (c) konsisten dengan alur pembuktian lainnya.

  1. D. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Terdapat cukup dasar teoritik dan yuridis untuk menilai bahwa unsur-unsur pemerasan dan gratifikasi dalam dakwaan terhadap Rohidin Mersyah dapat terpenuhi;
  2. b. Argumen  pembelaan  yang  semata-mata  mendasarkan  pada  tidak  adanya  perintah langsung dan pengakuan “keikhlasan” saksi tidak cukup untuk membantah adanya tekanan sistemik yang bersumber dari relasi kuasa;
  3. Pendekatan hukum pidana modern menuntut pembacaan konteks kekuasaan secara utuh, bukan semata teks.

Tindak pidana korupsi oleh pejabat negara tidak selalu terjadi secara terang-terangan atau eksplisit, melainkan sering dilakukan melalui mekanisme kekuasaan yang terselubung, struktural, dan  simbolik.  Oleh  karena  itu,  pendekatan  pembuktian  dan  penafsiran  hukum  tidak  boleh semata-mata mengandalkan formalisme hukum, melainkan harus kontekstual, fungsional, dan sosiologis.

Tulisan ini diharapkan memperkaya khazanah diskusi hukum di kalangan advokat, jaksa, hakim, akademisi, dan mahasiswa hukum, khususnya dalam memahami bagaimana kekuasaan jabatan dapat menjadi instrumen laten tindak pidana korupsi dalam sistem birokrasi Indonesia.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.