BENGKULU, infosumatera.com- Festival Tabut tengah digelar sangat meriah sekali. Gubernur Bengkulu Helmi Hasan sudah meminta agar Festival ini, diadakan semeriah mungkin. Terbukti hingga mendekati puncak Festival, Ratusan ribu masyarakat sudah tumpah ruah menyaksikan Festival yang digelar setahun sekali itu.
Mengiringi perayaan Festival Tabut kini hadir Buku berjudul Kami Orang Tabut sudah selesai cetak edisi pertama . Beberapa hari lagi akan dicetak Kembali dengan tambahan kata pengantar dari Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon
Penulis buku Agustam Rahman menceritakan buku KAMI ORANG TABUT judul ini menggambarkan bahwa semua orang bengkulu tanpa memandang suku, agama, tanpa terkecuali merasa bangga dengan Tabut.
“buku ini sudah selesai cetak kemaren dan akan lanjut cetak lagi minggu depan. cetakan minggu depan itu akan lebih lengkap karena ada kata sambutan pak fadli zon menteri kebudayaan, ‘’ujar dia kepada infosumatera.com.
Sosok Agustam selain berkecimpung di bidang hukum sebagai Advokat, dia juga memberi perhatian kepada Sejarah dan budaya di Bengkulu.
Agustam sendiri bukan asli orang Bengkulu, tetapi sejak 1996 ia sudah tinggal di Bengkulu sebagai alumnus Fakultas Hukum Unib
Agustam Rahman menceritakan epilog buku berjudul, ‘’Kami orang Tabut ini berjudul DUKA YANG DIRAYAKAN
Tabut, dari tradisi ke festival adalah denyut kehidupan bersama, yang mengetuk hati setiap orang Bengkulu, mengajak mereka keluar dari kesibukan sehari-hari untuk hadir dalam sebuah drama kolektif yang terus berulang, mengenang, meratapi, sekaligus merayakan makna bersama.
Selama berabad-abad, Tabut telah bertahan. Ia bukan sekadar ritual, bukan pula sekadar atraksi tahunan yang menghiasi kalender wisata daerah.
Tabut adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara keyakinan dan identitas, antara individu dan masyarakat.
Di sinilah teori struktural fungsional Durkheim menemukan ruang untuk bernafas, bahwa masyarakat adalah tubuh besar yang terdiri dari organ-organ yang saling mendukung, bahwa ritus-ritus, simbol-simbol, dan tindakan-tindakan kolektif bukanlah sesuatu yang remeh, melainkan landasan dari keteraturan sosial.
Kita telah menyusuri perjalanan panjang dalam buku ini, dari jejak sejarah Tabut dibawa oleh Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin, ke berbagai bentuk ritusnya yang kompleks, hingga makna-makna simbolik yang tersembunyi di balik gerak dan benda. Kita telah membaca bagaimana dol bukan hanya alat musik, tapi media komunikasi sosial.
Kita melihat bagaimana masyarakat Bengkulu, baik Syiah maupun Sunni, pendatang maupun pribumi, muda maupun tua, turut larut dan menyatu dalam satu bahasa, bahasa simbolik Tabut.
Di sinilah letak keajaibannya, Tabut mampu menyatukan berbagai unsur sosial, memperkuat solidaritas, dan menegaskan identitas kolektif.
Ketika seseorang berdiri di tengah keramaian prosesi, ia bukan lagi individu terpisah, melainkan bagian dari keseluruhan. Emile Durkheim menyebut hal ini sebagai “kesadaran kolektif”, sebuah perasaan kebersamaan yang lebih besar dari diri sendiri.
Dan Tabut adalah salah satu sarana untuk menumbuhkan dan merawat kesadaran itu.
Durkheim percaya bahwa manusia tidak pernah benar-benar hidup sendirian. Dalam ruang batin kita yang terdalam, selalu ada kerinduan untuk terhubung dengan sesama, dengan nilai-nilai, dengan sesuatu yang lebih besar dari kita.
Ritus, bukan sekadar perayaan religius, tapi mekanisme sosial yang memungkinkan masyarakat bertahan.
Melalui Tabut, masyarakat Bengkulu menjalani proses sakralisasi nilai-nilai: kesetiaan, pengorbanan, keadilan, dan kebersamaan. Kita menyaksikan bagaimana peristiwa tragis wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW menjadi titik pijak bagi masyarakat untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan.
Ini bukan lagi soal sejarah, tetapi tentang bagaimana sejarah dijadikan sarana untuk membangun etika kolektif.
Dan bukankah itu yang dibutuhkan masyarakat modern? Di tengah arus individualisme dan fragmentasi sosial, ritus seperti Tabut justru menjadi ruang pertemuan yang memulihkan rasa. Ia menjadi tempat di mana orang-orang berkumpul bukan karena kewajiban administratif, melainkan karena dorongan batin untuk berbagi makna.
Banyak orang mengira bahwa melestarikan tradisi berarti memelihara masa lalu. Tapi Tabut justru membuktikan sebaliknya: bahwa merawat ritus adalah cara untuk membangun masa depan.
Tabut mengajarkan pentingnya keberlanjutan nilai dalam wujud yang bisa dirasakan, disentuh, dan dijalani bersama. Inilah proses pemeliharaan struktur sosial yang memungkinkan masyarakat tetap seimbang.
Generasi muda mungkin tidak memahami sepenuhnya kisah Karbala, tapi ketika mereka ikut menabuh dol, menghias Tabut, atau sekadar berdiri di pinggir jalan menyaksikan arak-arakan, mereka secara tidak sadar sedang membentuk jalinan sosial yang memperkuat komunitas. Mereka sedang menjadi bagian dari cerita besar yang terus ditulis ulang setiap tahun.
Tentu saja, tak ada tradisi yang hidup tanpa tantangan. Globalisasi, modernisasi, dan komersialisasi budaya menjadi ancaman sekaligus peluang bagi Tabut.
Ada kekhawatiran bahwa makna sakral akan larut dalam kemasan wisata budaya. Tapi, sebagaimana dijelaskan Durkheim, masyarakat memiliki mekanisme pertahanan internal: ketika solidaritas sosial cukup kuat, maka nilai-nilai akan bertahan meski bentuknya berubah.
Kita bisa membayangkan bentuk-bentuk baru Tabut di masa depan, mungkin dengan pelibatan teknologi, dengan dokumentasi digital, atau dengan narasi-narasi baru yang lebih kontekstual bagi generasi muda.
Tapi selama esensi solidaritas dan kesadaran kolektif tetap dijaga, maka Tabut akan tetap menjadi milik bersama.
Mungkin kita tidak selalu bisa menjelaskan dengan kata-kata apa arti Tabut bagi setiap orang. Tapi kita bisa merasakannya dalam langkah kaki yang mengikuti arak-arakan, dalam keringat yang menetes saat menghias Tabut, dalam tawa anak-anak yang menyaksikan dol dipukul dengan semangat. Di situlah Tabut hidup, bukan sebagai kenangan, tapi sebagai ritus sosial yang terus berdenyut, membawa kita pada kesadaran bahwa untuk menjadi manusia, kita butuh satu sama lain.
Menulis tentang Tabut adalah menulis tentang manusia, masyarakat, dan makna. Ia adalah cermin dari apa yang kita perjuangkan bersama: rasa memiliki, rasa peduli, dan rasa ingin terus bersama. Dalam teori Durkheim, semua itu adalah fondasi dari keteraturan sosial yang sehat. Dalam kehidupan nyata, semua itu kita temukan dalam Tabut.
Semoga buku ini bukan hanya menjadi bacaan, tapi juga pengingat bahwa dalam setiap ritus, ada kehidupan; dalam setiap simbol, ada makna; dan dalam setiap kebersamaan, ada harapan. Tabut akan menjadi milik semua yang percaya bahwa kehidupan bersama adalah sesuatu yang layak untuk dirayakan.
Beberapa tokoh penting di Bengkulu menuliskan kata pengantarnya di dalam buku tersebut antara lain Gubernur Bengkulu A H. Helmi Hasan, SE, Rektor UIN Bengkulu Al-Mukaram Prof. Dr. Zulkarnain Dali, Direktur Utama Sumatera Ekspress/ Rakyat Bengkulu Media Grup Dr. H. Muslimin, SH, MH