Oleh : MUSPANI,SH.MH
_”Kalau BBM aman, mengapa listrik masih dibatasi?”_ [Paabuki Enggano, Milson Kaitora]
BENGKULU,infosumatera.com-Pulau Enggano kembali mencuri perhatian. Bukan karena potensi kelautannya, bukan pula karena kekayaan hayatinya yang memesona, tetapi karena realitas gelap: mati lampu setiap hari, di tengah janji-janji yang makin terang di atas kertas.
Ironisnya, pemadaman itu terjadi tepat saat warga Enggano mengikuti diskusi publik bertajuk _“Inpres Pulau Enggano: Tepis Isu Seolah Enggano Baik-baik Saja”_, yang diadakan oleh AMAN Bengkulu, Minggu malam, 29 Juni 2025.
Diskusi berlangsung secara daring dari sekretariat AMAN di Kota Bengkulu dan beberapa titik di Pulau Enggano. Dan benar saja, tepat pukul 22.00 WIB, listrik padam seperti biasa. Diskusi menjadi simbolis—membicarakan “janji terang” dalam gelap yang nyata.
Sementara dari sisi pemerintah, narasi yang beredar justru berkebalikan: BBM aman, stok pertalite cukup 20 hari, biosolar tersedia, gas elpiji melimpah. Tapi di Enggano? Listrik padam rutin pukul 11.00–16.00 dan 22.00–05.00. BBM pun tak jelas nyangkut di mana.
Ketika Inpres Tak Merubah Nasib
Pada 24 Juni 2025, Presiden Prabowo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Penanganan Darurat Pulau Enggano dan Pelabuhan Pulau Baai.
Inpres ini menugaskan Gubernur Bengkulu untuk membentuk tim koordinasi daerah, mengalokasikan anggaran, serta mendukung seluruh proses perizinan.
Namun, hingga awal Juli, belum ada SK Gubernur ataupun pembentukan tim. Tak ada sinyal konkret bahwa Inpres ini diterjemahkan ke dalam langkah-langkah operasional di daerah.
Diskusi publik yang digelar AMAN Bengkulu mempertegas kegelisahan itu. Milson Kaitora, tokoh adat Enggano, menyatakan bahwa narasi yang menggambarkan Enggano “baik-baik saja” adalah kebohongan. Sementara Alamuddin, Kepala Desa Kaana, menegaskan: _“Kami butuh kapal, bukan janji.”
_ Ia menyindir kondisi Pelabuhan Pulau Baai yang dangkal, menyebabkan kelumpuhan logistik ke pulau terluar ini.
Pandangan kritis juga datang dari aktivis perempuan, Puji Hendri. Ia menyoroti beban psikologis yang dialami perempuan Enggano, yang menjadi pihak pertama yang harus berhemat saat ekonomi lumpuh.
Bahkan Dr. Arie Elcaputra dari Universitas Bengkulu menyatakan bahwa Inpres belum memberi dampak nyata, dan mendesak adanya partisipasi adat serta pemantauan independen.
Seruan Aksi Bukan Pernyataan
Peserta diskusi menuntut agar Gubernur Bengkulu segera menerbitkan SK Gubernur tentang Tim Koordinasi Implementasi Inpres.
Inspeksi lapangan juga didesak dilakukan langsung oleh Gubernur atau Wakil Gubernur, agar suara warga tidak hanya berhenti sebagai laporan tertulis.
Dalam memo diskusi juga tercatat usulan agar pemerintah daerah menyusun _Rencana Aksi Daerah_ berbasis Inpres dan menyinkronkannya dalam RPJMD dan RKPD.
Gubernur bukan hanya kepala daerah administratif, tetapi juga dirigen dari orkestra lintas sektor.
Ia harus bisa menggerakkan Pemkab Bengkulu Utara, Pemerintah Kota Bengkulu, Pelindo, PLN, Pertamina, dan kementerian teknis—agar pembangunan tidak macet di tumpukan surat dinas dan rapat koordinasi tanpa tindakan.
Sebab itu, Pemerintah Provinsi Bengkulu tidak bisa lagi menunda. Warga Enggano tidak meminta belas kasihan.
Mereka hanya menuntut keadilan infrastruktur, kehadiran negara yang setara. Selama ini, mereka harus belajar dalam gelap, berobat tanpa kepastian, dan mengirim hasil bumi tanpa kapal yang pasti datang.
Enggano Tidak Baik baik Saja
Sudah saatnya Pemerintah Provinsi berhenti bicara soal “koordinasi sudah dilakukan” atau “sedang kami rancang.” Sebab yang dibutuhkan warga adalah listrik yang menyala, kapal yang berlayar, dan kehidupan yang bergerak.
_Enggano tidak baik-baik saja. Dan kita semua tahu itu_.
Pertanyaannya: apakah Pemerintah Provinsi Bengkulu masih mau pura-pura tidak tahu?
Catatan Redaksi
_Tulisan ini merupakan respons atas dinamika lapangan pasca-terbitnya Inpres 12/2025_