Oleh Iksan Agus Abraham, SH
Infosumatera.com – Orang cerdas dan selamat itu adalah, orang yang tak memikirikan apa yang tak perlu untuk dipikirkan. Makna ungkapan ini ialah seseorang bisa disebut memiliki kecerdasan serta diliputi keselamatan bila yang difikirkannya adalah hal-hal positif, membangun semangat menatap masa depan yang lebih cerah.
Fikiran yang cerdas akan menghasilkan lisan yang cerdas, lisan yang senantiasa terjaga, selamat manusia lain karena lisannya. Tapi karena lisan juga manusia bisa celaka. Kecelakaan karena lisan bisa menimpa manusia siapapun dia. Ungkapan Melayu mengatakan, “Berjalan peliharalah kaki, berkata peliharalah lisan,”. Kalau istilah sekarang saring, sebelum sharing (baca, s’e’ring).
Berfikir sebelum bertindak, agar selamat diri dan selamat pula orang lain.Kalau Pedang melukai Badan, tentu ada harapan sembuh, kalau lisan melukai hati kemana obat hendak dicari
Konsep inilah yang mungkin cocok seperti yang selalu didengung-dengungkan yakni cerdas, emosional, cerdas spritual cerdas intelejensi dan cerdas sosial.Hal ini berlaku universal, alias bukan hanya Provinsi Bengkulu yang tercinta ini.
Kebalikan dari penegasan tersebut, adalah hendaknya kita tak mudah berprasangka buruk, senantiasa mensucikan jiwa, dan menanamkan nilai-nilai serta fikiran yang Optimis bahwa ke depan harus lebih baik dari hari ini dan hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Pembangunan membutuhkan manusia-manusia cerdas, senantiasa yakin bahwa kebaikan harus terus menerus ditebar. Bentuk kebaikan itu antara lain, selalu memikirkan, hal apa saja yang mendasari manusia itu diciptakan. Jelasnya adalah manusia hadir ke dunia bukan untuk merusak, melainkan untuk memakmurkan.
Rasulullah SAW memberikan gambaran dalam sebuah Hadistnya yang mulia tentang bagaimana menciptakan optimisme dan semangat dalam diri seseorang.
”Seandainya engkau mengetahui, bahwa esok akan terjadi kiamat, sementara dirimu ingin menanam kurma, maka tanamlah. Jika dimakna secara sepintas, merencanakan menanam kurma hari ini, sedangkan esok terjadi kiamat adalah perbuatan sia-sia. Apagunanya lagi menanam sedangkan bumi dan isinya esok hari hancur.
Namun dari sisi optimisme, anggapan seperti ini jelas sangat keliru, karena menanam adalah menguburkan bibit ke dalam tanah, dan akan bertumbuh memenuhi ruang-ruang harapan dari hidup seseorang.
Bukankah “menanam” adalah pekerjaan orang-orang sejak dulu, sebagai upaya melestarikan kehidupan dan melangsungkan hidupnya sehari-hari.
Melalui cara menanam, membuat hidup manusia sejak Nabi Adam diciptakan sampai sekarang terus lestari. Manusia belum punah, sampai tiba masanya nanti.
Oleh karenanya optimisme disertai, semangat dan fikiran yang positif akan menciptakan energi tambahan yang sangat besar untuk membangun peradaban.
Bukankah Manusia hadir ke bumi ini untuk membangun perabadan, menjadi khalifah di bumi. Manusialah yang diserahi amanah untuk menjaga memelihara, mensejahterakan Bumi yang sudah Allah ciptakan sebelum manusia itu ada.
Mahluk Allah yang lain bernama Malaikat pernah bertanya kepadaNya, tentang penciptaan manusia. Saat itu Malaikat mengatakan, ya Rob mengapa Engkau menciptakan manusia, yang hanya akan menumpahkan darah sesama mereka.
Allah lantas memberi jawaban, Aku (Allah) lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ( Al-Quran Surat Albaqarah ayat 30).Karenanya Allah SWT menurunkan Ad-dien (agama) yang akan membimbing jalan manusia kepada kebenaran.
Melalui ajaran Agama manusia hidup membangun peradaban. Melalui agama atau Ad-dien itu, manusia membentuk karakter dan nilai-nilai serta jiwa yang baik untuk kembali kepada Rab-Nya.
Menanamkan nilai-nilai ad-dien sedari dini, bagi putra-putri kita di Lembaga-lembaga Pendidikan Formal dan Non Formal, akhirnya tetap menjadi sebuah keperluan yang tidak boleh diabaikan.
Karena sejak dini generasi Bangsa mengenal ad-dien yang bisa menciptakan karakter sebagai insan bertaqwa.
Penulis adalah Kepala Seksi Advokasi dan Pembelaan Wartawan PWI Provinsi Bengkulu