Zacky Antony
Catatan Zacky Antony
JARANG-JARANG melihat PDIP dan PKS akur dan satu suara. Biasanya PDIP dan PKS lebih banyak bertengkarnya. Kedua parpol yang mewakili dua kutub ideologi berbeda itu punya pandangan yang sering berseberangan. Hal ini bisa dimaklumi, sebab PDIP representasi partai pendukung pemerintah. Sedangkan PKS berada di luar pemerintahan. PDIP berhaluan nasionalis. Sedangkan PKS berhaluan Islam.
Nasionalis dan Islam sebagai ideologi acap kali dipertentangkan. Meski dalam beberapa hal keduanya punya irisan dan kesamaan. Keduanya sama-sama menolak imperialisme dan kolonialisme. Dikatakan beririsan, di dalam faksi nasionalis terdapat para Islamis-islamis yang biasanya cenderung moderat. Pun dalam faksi Islam, banyak pula bercokol Nasionalis-nasionalis religius yang bersikap inklusive dan berpandangan modernis.
Kali ini adalah Israel yang menyatukan PDIP dan PKS. Petinggi dan pentolan PDIP dan PKS kompak menolak kehadiran Israel pada perhelatan sepakbola Piala Dunia U-20 yang dihelat di Indonesia pada 20 Mei – 11 Juni 2023.
Sikap resmi PDIP disampaikan Ketua DPP Bidang Keagamaan Prof Dr Hamka Haq. Sedangkan sikap resmi PKS disampaikan Ketua Fraksi PKS di DPR RI, Jazuli Juwaini serta Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid.
“Kita dengan jelas dapat mengatakan bahwa Indonesia menolak kehadiran negara penjajah di wilayah kedaulatan Republik Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945, amanat Konferensi Asia Afrika, dan legasi sikap RI sejak masa Bung Karno,” tegas Jazuli.
Senada disampaikan Ketua DPP Bidang Keagamaan PDIP Prof Dr Hamka Haq. Menurutnya, penolakan terhadap Israel berdasarkan prinsip Bung Karno yang tidak mengakui Negara Israel sebelum Palestina merdeka. “Sampai sekarang prinsip itu dipegang oleh Negara kita termasuk oleh masyarakat luas,” kata Hamka.
Sukarno Pernah Tolak Israel
Jazuli dan Hamka sama-sama merujuk pada sikap dan pendirian Presiden Sukarno. Sang proklamator yang terkenal sangat anti impreialisme dan kolonialisme pernah menolak Timnas Indonesia bertanding melawan Israel pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1958.
Ceritanya, pada tahun 1957 Indonesia melaju ke babak Kualifikasi Piala Dunia 1958 Swedia. Indonesia lolos dari Sub Grup 1 setelah Taiwan mengundurkan diri. Indonesia berada satu grup dengan Cina dan Australia. Namun negeri Kangguru juga mundur. Sehingga Indonesia tinggal berhadapan dengan Cina.
Saat bertanding home di Jakarta, Indonesia mengalahkan Cina 2-0. Tapi giliran laga away 2 Juni 1957 di Beijing, Indonesia kalah 3-4. Karena saling mengalahkan, Indonesia dan China lantas memainkan laga penentuan di Rangoon, Myanmar, pada 23 Juni 1957. Laga berakhir imbang 0-0. Dengan hasil itu, Indonesia berhak lolos karena unggul agregat gol 5-4.
Peluang Indonesia lolos Piala Dunia terbuka. Asalkan bisa melewati babak play off melawan Israel yang lolos dari Sub Grup 2 setelah Turki mengundurkan diri. Ketika itu, Negara yahudi itu musuh bersama Negara-negara Arab. Israel meminta laga digelar dua leg yakni di Tel Aviv dan Jakarta. Tapi Indonesia meminta pertandingan digelar di tempat netral. Tapi usulan itu ditolak FIFA.
Hal itu menyulut amarah Presiden Sukarno. Sang proklamator membuktikan dirinya bernyali besar. Meski Israel didukung AS dan Barat, Sukarno tak peduli. Dia memerintahkan Timnas Indonesia menolak melawan Israel. Politik luar negeri Indonesia sangat tegas menolak penjajahan Israel atas Palestina.
Sikap Indonesia kemudian diikuti Sudan dan Turki yang sama-sama menolak bertemu Israel. Israel dinyatakan menang WO. Tapi gagal lolos ke Swedia karena dikalahkan Wales.
Dalam sebuah acara peringatan Hari Sumpah Pemuda di Istora Senayan Jakarta, Presiden Sukarno mengatakan bahwa Indonesia tidak akan pernah bertanding sepakbola melawan Israel sepanjang Palestina belum merdeka.
Sikap Indonesia ini konsisten dipertahankan dan sampai sekarang Indonesia-Israel tidak memiliki hubungan diplomatik.
Lima tahun berikutnya, Indonesia selaku tuan rumah pesta olahraga Negara-negara Asia (Asian Games), juga menolak kehadiran Israel yang waktu itu masih bergabung ke Asia. Presiden Sukarno menyatakan menolak memberi visa kepada atlet Israel untuk bertanding di Asian Games Jakarta. Gara-gara sikap tersebut, Indonesia harus menerima sanksi IOC dilarang tampil di olimpiade.
Beda NU dan Muhammadiyah
Sementara itu, dua Ormas Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah punya pandangan berbeda menyikapi tampilnya Israel di Piala U-20 di Indonesia. Muhammadiyah menolak kedatangan Israel. Sedangkan NU bersikap sebaliknya.
Ketua Umum PB NU, Yahya Cholil Staquf mengatakan tidak keberatan Israel bertanding sepakbola di Indonesia. Menurutnya, kedatangan Timnas Israel tidak merugikan posisi Palestina. “Kalau kita cuma menolak Israel, jangan datang! Habis itu tidur. Apa gunanya buat Palestina? Nggak ada gunanya juga,” kata Gus Yahya.
Di sisi lain, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menyatakan tegas menolak kedatangan Timnas Israel ke Indonesia. Anwar menyebut jika Indonesia mentolerir kedatangan Timnas Israel sama artinya menyalahi konstitusi. Sebab, konstitusi Indonesia sudah jelas menegaskan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Penolakan juga datang dari tokoh-tokoh partai, kepala daerah dan juga politisi antara lain dua politisi PDIP, Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) dan I Wayan Koster (Gubernur Bali), dan belakangan politisi PAN, Helmi Hasan (Walikota Bengkulu) juga menolak kedatangan Israel. Helmi Hasan dan Wayan Koster bahkan menulis surat resmi kepada Menpora untuk menegaskan sikap penolakannya.
Politik dan Olahraga
Politik dan olahraga pada dasarnya adalah dua dunia yang berbeda. Tapi keduanya sama-sama bisa menjadi panggung untuk mengibarkan bendera Negara. Ya, bendera merah putih bisa berkibar di Negara lain saat kunjungan kenegaraan kepala Negara atau ketika atlet Indonesia meraih medali pada even-even olahraga seperti olimpiade atau Asian Games dan Sea Games.
Dalam sejarahnya, politik dan olahraga sulit untuk dipisahkan.
FIFA sendiri tidak berdaya memisahkan urusan politik dari olahraga sepakbola yang dinaunginya. Bukti terbaru adalah pencoretan Timnas Rusia dalam babak kualifikasi Piala Dunia 2022 sebagai imbas perang dengan Ukraina. Klub-klub sepakbola Rusia juga dilarang bertanding di kancah kompetisi antar klub UEFA.
Olahraga bisa menjadi sarana ekspresi politik suatu Negara. Apa yang diperlihatkan oleh Presiden Sukarno di atas adalah ekspresi wajah konstitusi Indonesia yang tegas menolak penjajahan.
Bahkan, sejumlah diktator pernah menjadikan olahraga sebagai alat propaganda politik. Diktator Franco, misalnya, menjadikan Real Madrid sebagai alat legitimasi. Atau Mussolini di Italia yang menjadikan panggung Piala Dunia 1934 sebagai alat kampanye politik.
Sukarno bahkan lebih jauh lagi menjadikan olahraga sebagai sarana untuk mengubah tatanan dunia baru. Putra sang fajar menggagas apa yang disebut Ganefo (Games New Emerging Forces) sebagai tandingan Olimpiade. Dan Indonesia menyatakan keluar dari IOC.
Pembentukan Ganefo ini juga erat dengan masalah politik. Karena kelanjutan dari pembentukan Nefo (New Emerging Forces) sebagai lawan dari Oldefo (Old Emerging Forces).
Ketika menjadi tuan rumah Asian Games 1962, Sukarno juga menjadikan panggung olahraga itu sebagai alat lobi politik untuk menarik bantuan luar negeri. Hal itu untuk membangun agar sarana olahraga tanah air bisa memenuhi standar Internasional. Diantaranya Sukarno melobi Soviet. Hasilnya, akhirnya bisa dibangun Stadion Utama GUBK, Istora Senayan, Hotel Indonesia dan Jembatan Semanggi.
Menyatunya politik dan olahraga juga pernah disimbolkan pada sosok legenda sepakbola Diego Maradona ketika diangkat menjadi duta resmi Argentina oleh Presiden Carlos Menem.
Bagaimana dengan U-20?
Pertanyaannya bagaimana dengan perhelatan sepakbola Piala Dunia U-20 mendatang? Akankah Israel ditolak masuk Indonesia seperti pernah terjadi pada Asian Games 1962. Sejauh ini belum ada sikap resmi dari pemerintah. Tapi bila melihat gelagat dan statemen Ketum PSSI dan Kemenpora, Indonesia kali ini sepertinya bakal bersikap lebih moderat.
Ketum PSSI Erick Tohir berharap urusan olahraga jangan dicampuradukkan dengan urusan politik. Sekretaris Kemenpora, Gatot S Dewa Broto juga berpendapat pemerintah tidak bisa sembarangan menolak Timnas Israel karena harus mengikuti aturan FIFA sebagai penyelenggara Piala Dunia U-20. Dia berharap masyarakat bisa membedakan isu politik dan olahraga.
“Kita harus hormati hak-hak semua Negara yang lolos kualifikasi untuk bermain di Indonesia. Kita juga harus menjaga hubungan baik dengan Negara-negara lain yang ikut serta dalam Piala Dunia U-20,” kata Gatot.
Jadi, akankah Israel ditolak untuk bertanding di Piala Dunia U-20? Saya kok tidak yakin pemerintah sekarang punya nyali besar seperti Sukarno.
Penulis adalah wartawan yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Bengkulu